Abu Yazid al Busthami mempunyai nama lengkap Thifur ibn Isa ibn Adam ibn Isa ibn ‘Ali dan beliau mempunyai nama panggilan tersendiri dengan nama Abu Yazid al Busthami, adapun al Busthami merupakan nisbah terhadap nama tempat yang bernama Bustham yang mana terletak diwilayah Khurasan dan sekarang dikenal dengan sebutan Negara Islam Iran, beliau mempunyai nama panggilan lain yaitu Thifur ibn Isa ibn Sarusyan, adapun Sarusyan merupakan nisbah terhadap nama kakeknya dan Thifur adalah nama burung yang kecil, diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa kakeknya itu seorang Zoroaster kemudian dia memeluk islam.
Beberapa sumber menjelaskan tentang sejarah kelahirannya secara terperinci akan tetapi sangat disayangkan sekali karena sedikit yang menceritakan tentang tempat kelahirannya. Ibunya dilahirkan diwilayah Mobadan yang mana wilayah tersebut berpenduduk mayoritas beragama Zoroaster, kemudian setelah itu beliau pindah ke daerah Bawidzan yang mana daerah tersebut dihuni oleh mayoritas orang-orang yang bergama islam.
Abu Yazid mempunyai dua saudara lelaki dan dua saudara perempuan, adapun kedua saudara lelakinya bernama Adam dan Ali sedangkan kedua saudara perempuannya tidak diketahui namanya, diceritakan didalam sebuah catatan bahwa ibunya adalah seorang wanita yang zuhud yang mana selalu menjauhi semua urusan duniawi didalam kehidupannya dan beliau juga seorang ahli ibadah.
Diceritakan didalam Kitab Tarajim bahwa Abu Yazid al Busthami ia adalah seorang yang sangat zuhud, ahli ibadah dan seorang yang sangat ‘arif , salah satu diantara muridnya bernama Salma, dia telah meriwayatkan hadis dari Abu Yajid yang mana hadis tersebut sampai sanadnya kepada Abu Sa’id al Khudri.
Abu Yazid al Busthami wafat pada tahun 261 H, sebagian catatan mengatakan beliau wafat pada tahun 264 H.
Tidak banyak sumber ataupun catatan yang menceritakan tentang sejarah keilmuannya secara detail dan terperinci, akan tetapi sebagian riwayat menceritakan bahwa beliau itu seorang Ahlu Sunah wal Jama’ah yang bermadhab Hanafi, dan beliau belajar ilmu Tauhid kepada temannya yang bernama Abu ‘Ali as Sunda. Abu Yazid al Busthami tidak menulis dan mengarang sesuatu yang berbentuk kitab ataupun catatan namun banyak dari para muridnya yang mengutip perkataan beliau dan meriwayatkannya didalam sebuah kitab, seperti apa yang tertulis didalam kitab an Nur min Kalimat Abu Thifur yang ditulis oleh Abu Fadl Muhammad ibn as Sahlaji ( 389-476 H ) didalam kitabnya berisi tentang riwayat hidup Abu Yazid al Busthami, keilmuan dan kehidupannya didalam dunia sufi, di dalam kitab ini as-Sahlaji telah mengutip perkataan Abu Yazid al Busthami diperkirakan sekitar 500 riwayat, bahkan as-Sahlaji telah hapal akan semua riwayat tersebut, beliau telah mengutipnya dari beberapa ulama yang telah bertemu langsung dengan Abu Yazid al Busthami, namun tidak begitu saja as-Sahlaji mengutip dan mengambil perkataan Abu Yazid al Busthami dari para syaikhnya, akan tetapi beliau penuh dengan kehati-hatian didalam mengutip dan meriwayatkan perkataan Abu Yazid al Busthami dan beliau menggunakan metode ilmu hadis didalam pengambilan riwayatnya.
Selain kitab yang ditulis oleh as-Sahlaji ada pula kitab lain yang menceritakan tentang kehidupan Abu Yazid al Busthami diantaranya kitab Syutuhat as-Shufiyah yang diediting oleh Doktor Abdurahman badawi . diceritakan dari beberapa riwayat bahwa Abu Yazid al Busthami mempunyai 313 Syaihk dan yang paling terkenal diantaranya adalah Imam Abu Ja’far as-Shodiq. Abu Yazid al Busthami pun mempunyai banyak murid diantara murid tersebut yang menonjol didalam keilmuannya dan yang paling banyak meriwayatkan perkataannya adalah Abu Musa ad-Daibala.
Abu Yazid al Busthami digolongkan oleh para Ulama kedalam golongan orang-orang sufi yang samar dan adapun alasannya karena beliau mempergunakan metode Syutuh untuk mendeskripsikan tentang perasaan ruhiyahnya, bahkan banyak orang menentang perkataan beliau, alasannya karena perkataan dan deskripsi beliau tentang perasaan ruhiyah sangat jauh dari ajaran al-Quran dan al-Hadis.
Adapun yang dimaksud Syutuh adalah deskripsi yang aneh dan ganjil terhadap keberadaan teori emanasi dan didalam mendeskripsikannya pun terlalu berlebih-lebihan.
Namun kebanyakan para ulama sufi menerima pendapat golongan ahlu syutuh yang berpendapat tentang kekuatan yang maujud dan penglihatan yang ma’rifat, alasan keterbukaan dan penerimaan pendapat ulama sufi terhadap pemahaman ahlu syutuh, dikarenakan beberapa alasan dianataranya keterbatasan bahasa dari kesempurnaan untuk mengungkapkan dan menterjemahkan gambaran perasaan ruhiyahnya tersebut, oleh karena itu kedua hal tersebut sangat sulit untuk mencapai kesempurnaan didalam mengungkapkannya, maka terjadi salah pemahaman ditelinga para pendengar didalam pendeskripsiannya tersebut. Maka oleh karena itu banyak para ulama sufis berpendapat bahwasanya tidak berhak dan tidak boleh untuk siapapun juga mengingkari para ahlu syutuh, namun dengan catatan para ahlu syutuh tersebut terkenal dengan kesolehan ,ketakwaan dan keilmuannya, maka daripada itu, semua urusan mereka diserahkan kepada Allah SWT.
Abu Yazid al Busthami adalah orang pertama dikalangan kaum sufi yang mempergunakan metode syutuh didalam mendeskripsikan perasaan ma’rifaatnya.
Banyak para ulama sufi merasa cemas dan khawatir terhadap perkataan Abu Yazid al Busthami yang penuh dengan keganjilan, diantaranya Junaid beliau mencoba untuk menjelaskan dan mentakwilkan apa-apa yang dikatakan Abu Yazid al Busthami. Selain Junaid ada lagi penulis kitab al-Lumm’a yang mana beliau telah mengutip penjelasan Junaid tersebut bahkan beliau mencoba untuk mempertahankan dan membelanya. Namun tidak semua para ulama sufi menerima pendapat
Abu Yazid al Busthami bahkan diantara mereka mengingkari dan menolak secara mentah-mentah pendapat Abu Yazid al Busthami tentang metode syutuhnya didalam mendeskripsikan perasaan ruhiyahnya, diantara ulamasufi yang menolak dan mengingkari pernyataannya adalah Ibnu Salim al-Basri bahkan beliau sampai mengkafirkan Abu Yazid al Busthami.
Diantara kutipan perkataan Abu Yazid al Busthami yang diingkari dan ditolak oleh beberapa ulama sufi diantaranya :
a. Maha suciku
b. Apa yang dimaksud dengan neraka? Sungguh aku akan meminta izin darinya besok, dan jadikanlah aku sebagai korban untuk ahli Neraka.
c. Apa yang dimaksud dengan Surga? Surga hanyalah permainan anak-anak, yang dimaksud disini adalah orang-orang yang cinta terhadap dunia.
d. Siapa orang-orang yang berbicara itu? Sungguh pembicaraan mereka hanyalah untuk sesama manusia, maka hatiku telah berbicara dengan Allah.
Diterjemahkan dari kitab Mausu’ah ‘Ilam Fikr Islami yang ditulis oleh Prof.Dr. Ahmad Thoyib.
|
This entry was posted on 1:56 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 comments: